TUGAS TOU 2 MINGGU KEDUA

Kali ini saya mendapat tugas untuk membuat sebuah tulisan dengan tema “Pengambilan Keputusan Terberat dalam Hidup”. Sebenarnya saya bingung mau tulis apa. Bagi saya, setiap aspek dalam kehidupan pasti akan ada masa dimana kita bergumul dengan diri kita sendiri entah itu pergumulan dengan keluarga, percintaan, pertemanan, pendidikan, dll. Ada pula juga bagian hidup yang menurut saya tidak perlu banyak orang harus tahu dan karena alasan yang sudah saya sebutkan sebelumnya, maka saya memilih untuk berbagi pengalaman saya dalam mengambil keputusan di bidang pendidikan. Ya…karena aspek pendidikan dalam hidup saya cukup menarik. Menarik karena begitu membingungkan. Hahaha :-D

Selamat membaca!

Rasa galau karena pendidikan bagi saya jauh lebih menggalaukan daripada galau karena masalah percintaan. Kenapa? Karena pendidikan berkaitan erat dengan masa depan yang harus kita bangun sejak awal. Pendidikan ini seperti tanggung jawab besar saya bagi kedua orang tua saya yang sudah susah payah cari uang untuk biaya sekolah saya. Ya…anak mana sih yang ga mau membahagiakan orang tua mereka sendiri? Kita bisa kasih apapun yang jadi keinginan orang tua kita dengan hasil jerih payah kita sendiri. Galau karena pendidikan pertama kali saya rasakan ketika duduk di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Atas.

  

Lihat betapa lusuhnya muka saya ketika masa SMA. Saat dimana saya bingung untuk memilih program IPA atau program IPS yang harus saya jalankan kedepannya. Semua begitu bertentangan antara cita-cita, passion, dan proses belajar.
***
Well…cita-cita pertama saya adalah menjadi seorang dokter hewan. Alasannya simple, karena saya suka sekali dengan anjing. Alasan yang begitu lugu yang sering saya lontarkan ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Seiring berjalannya waktu, saya memahami kekurangan yang ada dalam diri saya. Ya…saya sangat amat lemah di mata pelajaran Biologi. Mata pelajaran yang sangat perlu dikuasai untuk seorang dokter hewan. Mata pelajaran yang juga bagi kebanyakan orang begitu menyenangkan, menjadi begitu menyebalkan bagi saya. Saya tahu dan sadar diri, karena saya bukan tipe orang yang suka membaca buku. Apalagi buku Biologi yang tebalnya minta ampun, ditambah banyaknya bahasa planet a.k.a bahasa ilmiah yang susah banget untuk dihapal. Rasanya otak saya seperti mau meledak setelah membaca buku Biologi padahal saya sudah berusaha keras untuk mencari metode belajar yang baik agar saya bisa memahami pelajaran tersebut. Mulai dari mencicil bacaan setiap harinya sampai sistem kebut semalam sudah saya coba, tapi tetap saja nilai mata pelajaran Biologi selalu menjadi yang paling jelek di raport saya.

Cita-cita saya kemudian berubah ketika saya duduk di Sekolah Menengah Pertama. Saya begitu terinspirasi dengan tante saya yang sudah menginjakkan kaki di banyak Negara karena menjadi seorang diplomat. Sejak saat itulah saya ingin menjadi seorang diplomat. Mengapa? Alasannya juga sederhana, saya ingin sekali bisa berkeliling dunia. Saya ingin melihat betapa indah dan beragamnya alam yang telah Tuhan ciptakan dan dapat berkeliling dunia adalah cita-cita saya yang hingga detik ini terus saya kejar. Akan tetapi…mungkin bukan dengan jalan menjadi seorang diplomat. Masalahnya sama…seorang diplomat harus cepat tanggap dengan berita atau permasalahan Negara yang terus up to date. Oleh karena itu…seorang diplomat harus rajin membaca. Bukan tipe saya banget kan yang suka baca??? Baiklah, ini adalah kali kedua saya menanggalkan cita-cita saya.
***
Kembali ke jaman kelas 1 Sekolah Menengah Atas, ada begitu banyak pertimbangan ketika saya harus memilih program IPA atau IPS. Saya pribadi sangat tertarik dengan program studi atau pekerjaan dari seorang lulusan IPS. Tapi apa daya, anak IPS memang harus rajin baca, kalau ga suka baca, serasa kaya bunuh diri masuk IPS. Sedangkan pandangan saya untuk program studi atau pekerjaan dari seseorang lulusan IPA tuh ga banget. Ya kaya kata orang saja, “Ngapain mangga jatuh pakai dihitung segala kecepatannya.” Serba ga penting. Akan tetapi, ada sisi lain yang bisa saya lihat dalam diri saya, saya sangat amat suka berhitung. Saya pikir, kalau saya masuk IPA saya ga harus banyak membaca. Dari sini, ada pilihan yang harus saya pilih, saya menyukai hasil lulusan seorang IPS tetapi saya sama sekali tidak menyukai prosesnya atau saya tidak menyukai hasil lulusan seorang IPA, tetapi saya sangat amat menyukai prosesnya dan yaapp… Saya memilih pilihan yang ke dua. Bagi saya hasil yang baik selalu mengikuti kita disaat kita mencintai dan menikmati prosesnya. Kalau dari prosesnya saja kita sudah tidak suka, bagaimana mau dapat hasil yang maksimal?
***
Masa-masa SMA memang berlalu begitu cepat. Tidak terasa ketika duduk di bangku kelas 3, saya sudah harus dipusingkan kembali dengan memilih jurusan di perguruan tinggi. Pilihan yang ini berkali kali lipat lebih kompleks dari permasalahan yang sebelumnya. Entahlah…kala itu saya jadi begitu tertarik dengan Akuntansi. Mungkin karena dulu posisi saya yang selalu dipercayakan menjadi bendahara dalam tiap kepungurusan dan kepanitian, seperti memiliki kenikmatan tersendiri saat melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan keuangan. Puji Tuhan saat itu saya mendapat kesempatan untuk mengikuti SNMPTN Undangan. Tapi tetap saja kesempatan itu tidak bisa saya pergunakan dengan maksimal. Nilai rata-rata raport saya yang tidak terlalu tinggi memberi batasan untuk saya memilih jurusan yang saya inginkan. Saya tidak mau kalau harus terpaksa masuk ke dalam jurusan yang tidak saya inginkan hanya karena jurusan tersebut sesuai dengan rata-rata nilai raport saya. Akhirnya dengan modal nekat, pada pilihan pertama, saya memilih salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Yogyakarta dengan jurusan Akuntansi dan Teknik Industri sedangkan perguruan tinggi negeri pada pilihan kedua sama sekali tidak saya isi. Mungkin banyak orang bertanya, “Kok pilihan keduanya malah tidak diisi?” ah…pertanyaan yang begitu mudah untuk saya jawab. Perguruan tinggi negeri yang saya incar hanya satu, Universitas Gadjah Mada. Saya bukan tipe orang yang “jurusan apa saja jadi, yang penting masuk PTN.” Saya bersyukur bukan menjadi salah satu orang yang punya pikiran seperti itu. Pikirannya terlalu terkotak, mereka terlalu beranggapan bahwa orang sukses lahir dari PTN dan bagi saya itu ga ada hubungannya sama sekali. Korelasi yang teramat aneh. Itu semua kan tergantung bagaimana individu tersebut berkerja keras, bukan dari perguruan tinggi ia berasal. Oh iya, balik ke SNMPTN Undangan tadi, sebenarnya saya sudah bisa memperkirakan bahwa kemungkinan saya bisa diterima di situ sangatlah kecil, teramat kecil. Mungkin kalau dipresentasikan hanya sekitar 20% dan benar saja, saya tidak diterima. Tapi ya ga apa-apa. Saya sama sekali tidak menyesal karena saya sudah berusaha mencoba memperjuangkan apa yang ingin saya capai. Setelah SNMPTN Undangan gagal, saya mencoba SNMPTN Tulis. Dengan tujuan perguruan tinggi dan jurusan yang sama saya mencoba peruntungan kembali untuk memperjuangkan yang ingin saya capai. Walaupun secara struktur pilihan saya sangat tidak berstrategi dan memiliki kemungkinan kesempatan diterima yang sangat amat kecil, saya tetap tidak akan pernah menyesal. Saya tahu, karena saya sedang memperjuangkan yang saya inginkan. Ah tapi benar saja…lagi-lagi saya gagal untuk diterima. Setelah saya gagal di SNMPTN Tulis, saya tidak lagi mengitu tes seleksi ujian mandiri perguruan tinggi negeri, lalu saya langsung mencoba seleksi PMDK Univeristas Gunadarma.
***
Kala itu masa saat saya mulai berserah kepada Tuhan. Perasaan sedih dan lelah begitu campur aduk karena saya masih ga tahu dimana saya harus melanjutkan studi saya. Kemudian, saya merenung, saya mengevaluasi diri, dan ada hal yang saya sadari. Apa yang sudah saya usahakan saat itu adalah keinginan saya yang belum tentu menjadi bagian dalam perancangan Tuhan bagi hidup saya. Saya percaya, saya mengimani bahwa saya tidak diterima di Universitas Gadjah Mada ataupun tidak diterima di jurusan Akuntansi bukan karena saya seorang yang bodoh, tetapi Tuhan sudah siapkan tempat terbaik dan rencana yang jauh lebih indah untuk masa depan saya.
***
Kemudian saya berkonsultasi dengan Kakak saya. Saya tidak lagi mencoba Akuntansi di seleksi PMDK Universitas Gunadarma karena saya merasa mungkin memang bukan jalan saya berada di jurusan tersebut. Akhirnya saya beralih ke jurusan Sistem Informasi, jurusan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Awalnya ragu, tapi melihat Kakak saya yang jauh lebih dahulu terjun di jurusan ini, ada dorongan bagi saya untuk mencobanya. Apalagi perkembangan komputer setiap waktu semakin kian booming. Seperti ada prospek pekerjaan yang baik dari lulusan seorang Sistem Informasi. Puji Tuhan, kini saya sudah menjadi bagian mahasiswi Universitas Gunadarma jurusan Sistem Informasi.
 

***
Selama di kuliah, saya merasa Tuhan bekerja di dalam diri saya. Nilai-nilai yang saya dapatkan sungguh sangat amat luar biasa, jauh dari perkiraan saya hingga saya mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi Beasiswa Sarjana Magister. Beasiswa yang menjadi tujuan utama saya ketika saya masuk ke Universitas Gunadarma. Begitu menggiurkan, dalam 4-5 tahun, kita bisa mendapat dua gelar S1 dan S2 sekaligus. Dengan persiapan yang seadanya, bahkan ga ada persiapan sama sekali, akhirnya saya mengikuti seleksi tersebut. Sebenarnya, saya tidak terlalu memperdulikan apakah saya akan diterima atau tidak, karena yang terpenting di sini adalah pengalaman. Setelah sekian Minggu menunggu, tak disangka saya diterima dalam Beasiswa Sarjana Magister tersebut dan di bagian inilah merupakan masa pengambilan keputusan tersulit di dalam hidup saya. Entah mengapa ketika sudah diterima, rasa ragu yang kemudian muncul. Seperti tidak siap. Saya merasa, saya bisa dapat beasiswa tersebut karena saya beruntung, bukan karena saya mampu. Apalagi mengingat jawaban saya pada test TOEFL dan wawancara yang ga banget. Di saat inilah saya kembali melakukan self-talking. Saya kembali merenung dan mulai berpikir, kalau boleh jujur, passion saya bukanlah menjadi seorang pengajar yang mana lulusan dari Sarjana Magister ini diwajibkan menjadi dosen setelah lulus. Terlebih komputer ini bukanlah passion utama saya. Saya masih bertahan di jurusan ini karena saya berusaha survive. Walaupun pikiran  salah jurusan terkadang muncul, tapi ini sudah setengah jalan. Yang penting saya harus survive. Akhirnya dengan keputusan yang bulat, saya menanggalkan beasiswa Sarjana Magister tersebut. Terlihat bodoh memang… Saya melepaskan kesempatan emas dalam hidup saya, yang begitu dicari banyak orang, tetapi malah saya lepaskan. Tidak! Tapi saya tidak bodoh. Mereka yang menilai itu karena mereka tidak mengerti apa yang menjadi pencapaian dalam hidup saya dan ah… Rasanya lega sekali. Saat ini adalah saat dimana saya mulai mengerti akan rencana Tuhan yang ada dalam hidup saya. Di semester ini, saya sudah mulai jenuh belajar. Saya semakin sulit menerima pelajaran. Pelajarannya juga makin lama makin komputer banget, semakin susah. Bersyukur sekali, saya yang di kelas biasa saja sekarang sudah mulai keteteran apalagi di kelas Sarjana Magister? Pasti hasil yang didapat tidak akan maksimal. Satu lagi, saya juga menyadari mengapa Tuhan tidak menempatkan saya di jurusan Akuntansi. Ternyata Akuntansi juga sulit. Butuh pemahaman yang super extra dan benar saja, di mata kuliah Akuntansi ini saya tidak mendapat nilai yang maksimal. Betapa Tuhan menata hidup saya dengan begitu baik.
***
Sekarang saya selalu bersyukur akan setiap langkah yang saya ambil. Tidak ada beban, tidak ada penyesalan. Berkat dari Tuhan selalu tercurahkan di dalam hidup saya karena saya percaya dan mengimani bahwa campur tangan Tuhan senantiasa mengiringi langkah kaki saya.


"Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN." – Yesaya 55 : 8
 


Comments

Cute Running Puppy