TUGAS TOU 2 MINGGU KEDUA
Kali ini saya mendapat tugas untuk membuat sebuah tulisan
dengan tema “Pengambilan Keputusan Terberat dalam Hidup”. Sebenarnya saya
bingung mau tulis apa. Bagi saya, setiap aspek dalam kehidupan pasti akan ada
masa dimana kita bergumul dengan diri kita sendiri entah itu pergumulan dengan
keluarga, percintaan, pertemanan, pendidikan, dll. Ada pula juga bagian hidup
yang menurut saya tidak perlu banyak orang harus tahu dan karena alasan yang
sudah saya sebutkan sebelumnya, maka saya memilih untuk berbagi pengalaman saya
dalam mengambil keputusan di bidang pendidikan. Ya…karena aspek pendidikan
dalam hidup saya cukup menarik. Menarik karena begitu membingungkan. Hahaha :-D
Cita-cita saya kemudian berubah ketika saya duduk di Sekolah Menengah Pertama. Saya begitu terinspirasi dengan tante saya yang sudah menginjakkan kaki di banyak Negara karena menjadi seorang diplomat. Sejak saat itulah saya ingin menjadi seorang diplomat. Mengapa? Alasannya juga sederhana, saya ingin sekali bisa berkeliling dunia. Saya ingin melihat betapa indah dan beragamnya alam yang telah Tuhan ciptakan dan dapat berkeliling dunia adalah cita-cita saya yang hingga detik ini terus saya kejar. Akan tetapi…mungkin bukan dengan jalan menjadi seorang diplomat. Masalahnya sama…seorang diplomat harus cepat tanggap dengan berita atau permasalahan Negara yang terus up to date. Oleh karena itu…seorang diplomat harus rajin membaca. Bukan tipe saya banget kan yang suka baca??? Baiklah, ini adalah kali kedua saya menanggalkan cita-cita saya.
Selamat membaca!
Rasa galau karena pendidikan bagi saya jauh lebih
menggalaukan daripada galau karena masalah percintaan. Kenapa? Karena
pendidikan berkaitan erat dengan masa depan yang harus kita bangun sejak awal.
Pendidikan ini seperti tanggung jawab besar saya bagi kedua orang tua saya yang
sudah susah payah cari uang untuk biaya sekolah saya. Ya…anak mana sih yang ga mau membahagiakan orang tua mereka sendiri? Kita bisa kasih
apapun yang jadi keinginan orang tua kita dengan hasil jerih payah kita
sendiri. Galau karena pendidikan pertama kali saya rasakan ketika duduk di bangku
kelas 1 Sekolah Menengah Atas.
Lihat betapa lusuhnya muka saya ketika masa SMA. Saat dimana
saya bingung untuk memilih program IPA atau program IPS yang harus saya
jalankan kedepannya. Semua begitu bertentangan antara cita-cita, passion, dan proses belajar.
***
Well…cita-cita
pertama saya adalah menjadi seorang dokter hewan. Alasannya simple, karena saya suka sekali dengan
anjing. Alasan yang begitu lugu yang sering saya lontarkan ketika saya masih
duduk di bangku Sekolah Dasar. Seiring berjalannya waktu, saya memahami kekurangan
yang ada dalam diri saya. Ya…saya sangat amat lemah di mata pelajaran Biologi. Mata
pelajaran yang sangat perlu dikuasai untuk seorang dokter hewan. Mata pelajaran
yang juga bagi kebanyakan orang begitu menyenangkan, menjadi begitu menyebalkan bagi saya. Saya tahu dan sadar
diri, karena saya bukan tipe orang yang suka membaca buku. Apalagi buku Biologi
yang tebalnya minta ampun, ditambah banyaknya bahasa planet a.k.a bahasa ilmiah yang susah banget untuk dihapal. Rasanya otak saya
seperti mau meledak setelah membaca buku Biologi padahal saya sudah berusaha
keras untuk mencari metode belajar yang baik agar saya bisa memahami pelajaran tersebut.
Mulai dari mencicil bacaan setiap harinya sampai sistem kebut semalam sudah
saya coba, tapi tetap saja nilai mata pelajaran Biologi selalu menjadi yang paling
jelek di raport saya.
Cita-cita saya kemudian berubah ketika saya duduk di Sekolah Menengah Pertama. Saya begitu terinspirasi dengan tante saya yang sudah menginjakkan kaki di banyak Negara karena menjadi seorang diplomat. Sejak saat itulah saya ingin menjadi seorang diplomat. Mengapa? Alasannya juga sederhana, saya ingin sekali bisa berkeliling dunia. Saya ingin melihat betapa indah dan beragamnya alam yang telah Tuhan ciptakan dan dapat berkeliling dunia adalah cita-cita saya yang hingga detik ini terus saya kejar. Akan tetapi…mungkin bukan dengan jalan menjadi seorang diplomat. Masalahnya sama…seorang diplomat harus cepat tanggap dengan berita atau permasalahan Negara yang terus up to date. Oleh karena itu…seorang diplomat harus rajin membaca. Bukan tipe saya banget kan yang suka baca??? Baiklah, ini adalah kali kedua saya menanggalkan cita-cita saya.
***
Kembali ke jaman kelas 1 Sekolah Menengah Atas, ada begitu
banyak pertimbangan ketika saya harus memilih program IPA atau IPS. Saya
pribadi sangat tertarik dengan program studi atau pekerjaan dari seorang
lulusan IPS. Tapi apa daya, anak IPS memang harus rajin baca, kalau ga suka baca, serasa kaya bunuh diri
masuk IPS. Sedangkan pandangan saya untuk program studi atau pekerjaan dari
seseorang lulusan IPA tuh ga banget. Ya
kaya kata orang saja, “Ngapain mangga
jatuh pakai dihitung segala kecepatannya.” Serba ga penting. Akan tetapi,
ada sisi lain yang bisa saya lihat dalam diri saya, saya sangat amat suka berhitung. Saya pikir, kalau
saya masuk IPA saya ga harus banyak membaca.
Dari sini, ada pilihan yang harus saya pilih, saya menyukai hasil lulusan
seorang IPS tetapi saya sama sekali tidak menyukai prosesnya atau saya tidak
menyukai hasil lulusan seorang IPA, tetapi saya sangat amat menyukai prosesnya
dan yaapp… Saya memilih pilihan yang
ke dua. Bagi saya hasil yang baik selalu mengikuti kita disaat kita mencintai
dan menikmati prosesnya. Kalau dari prosesnya saja kita sudah tidak suka, bagaimana
mau dapat hasil yang maksimal?
***
Masa-masa SMA memang berlalu begitu cepat. Tidak terasa
ketika duduk di bangku kelas 3, saya sudah harus dipusingkan kembali dengan
memilih jurusan di perguruan tinggi. Pilihan yang ini berkali kali lipat lebih kompleks
dari permasalahan yang sebelumnya. Entahlah…kala itu saya jadi begitu tertarik
dengan Akuntansi. Mungkin karena dulu posisi saya yang selalu dipercayakan
menjadi bendahara dalam tiap kepungurusan dan kepanitian, seperti memiliki
kenikmatan tersendiri saat melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan
keuangan. Puji Tuhan saat itu saya mendapat kesempatan untuk mengikuti SNMPTN
Undangan. Tapi tetap saja kesempatan itu tidak bisa saya pergunakan dengan
maksimal. Nilai rata-rata raport saya
yang tidak terlalu tinggi memberi batasan untuk saya memilih jurusan yang saya
inginkan. Saya tidak mau kalau harus terpaksa masuk ke dalam jurusan yang tidak
saya inginkan hanya karena jurusan tersebut sesuai dengan rata-rata nilai raport saya. Akhirnya dengan modal nekat, pada pilihan pertama, saya
memilih salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Yogyakarta dengan jurusan
Akuntansi dan Teknik Industri sedangkan perguruan tinggi negeri pada pilihan
kedua sama sekali tidak saya isi. Mungkin banyak orang bertanya, “Kok pilihan
keduanya malah tidak diisi?” ah…pertanyaan yang begitu mudah untuk saya jawab. Perguruan
tinggi negeri yang saya incar hanya satu, Universitas Gadjah Mada. Saya bukan
tipe orang yang “jurusan apa saja jadi, yang penting masuk PTN.” Saya bersyukur
bukan menjadi salah satu orang yang punya pikiran seperti itu. Pikirannya terlalu
terkotak, mereka terlalu beranggapan bahwa orang sukses lahir dari PTN dan bagi
saya itu ga ada hubungannya sama
sekali. Korelasi yang teramat aneh. Itu semua kan tergantung bagaimana individu
tersebut berkerja keras, bukan dari perguruan tinggi ia berasal. Oh iya, balik ke
SNMPTN Undangan tadi, sebenarnya saya sudah bisa memperkirakan bahwa
kemungkinan saya bisa diterima di situ sangatlah kecil, teramat kecil. Mungkin kalau
dipresentasikan hanya sekitar 20% dan benar saja, saya tidak diterima. Tapi ya ga apa-apa. Saya sama sekali tidak
menyesal karena saya sudah berusaha mencoba memperjuangkan apa yang ingin saya
capai. Setelah SNMPTN Undangan gagal, saya mencoba SNMPTN Tulis. Dengan tujuan
perguruan tinggi dan jurusan yang sama saya mencoba peruntungan kembali untuk
memperjuangkan yang ingin saya capai. Walaupun secara struktur pilihan saya
sangat tidak berstrategi dan memiliki kemungkinan kesempatan diterima yang
sangat amat kecil, saya tetap tidak akan pernah menyesal. Saya tahu, karena
saya sedang memperjuangkan yang saya inginkan. Ah tapi benar saja…lagi-lagi saya
gagal untuk diterima. Setelah saya gagal di SNMPTN Tulis, saya tidak lagi
mengitu tes seleksi ujian mandiri perguruan tinggi negeri, lalu saya langsung
mencoba seleksi PMDK Univeristas Gunadarma.
***
Kala itu masa saat saya mulai berserah kepada Tuhan. Perasaan
sedih dan lelah begitu campur aduk karena
saya masih ga tahu dimana saya harus
melanjutkan studi saya. Kemudian, saya
merenung, saya mengevaluasi diri, dan ada hal yang saya sadari. Apa yang sudah
saya usahakan saat itu adalah keinginan saya yang belum tentu menjadi bagian
dalam perancangan Tuhan bagi hidup saya. Saya percaya, saya mengimani bahwa saya
tidak diterima di Universitas Gadjah Mada ataupun tidak diterima di jurusan
Akuntansi bukan karena saya seorang yang bodoh, tetapi Tuhan sudah siapkan
tempat terbaik dan rencana yang jauh lebih indah untuk masa depan saya.
***
Kemudian saya berkonsultasi dengan Kakak saya. Saya tidak
lagi mencoba Akuntansi di seleksi PMDK Universitas Gunadarma karena saya merasa
mungkin memang bukan jalan saya berada di jurusan tersebut. Akhirnya saya
beralih ke jurusan Sistem Informasi, jurusan yang tidak pernah terpikirkan
sebelumnya. Awalnya ragu, tapi melihat Kakak saya yang jauh lebih dahulu terjun
di jurusan ini, ada dorongan bagi saya untuk mencobanya. Apalagi perkembangan
komputer setiap waktu semakin kian booming.
Seperti ada prospek pekerjaan yang baik dari lulusan seorang Sistem Informasi. Puji
Tuhan, kini saya sudah menjadi bagian mahasiswi Universitas Gunadarma jurusan
Sistem Informasi.
***
Selama di kuliah, saya merasa Tuhan bekerja di dalam diri
saya. Nilai-nilai yang saya dapatkan sungguh sangat amat luar biasa, jauh dari perkiraan saya hingga saya mendapat
kesempatan untuk mengikuti seleksi Beasiswa Sarjana Magister. Beasiswa yang
menjadi tujuan utama saya ketika saya masuk ke Universitas Gunadarma. Begitu menggiurkan,
dalam 4-5 tahun, kita bisa mendapat dua gelar S1 dan S2 sekaligus. Dengan persiapan
yang seadanya, bahkan ga ada
persiapan sama sekali, akhirnya saya mengikuti seleksi tersebut. Sebenarnya,
saya tidak terlalu memperdulikan apakah saya akan diterima atau tidak, karena
yang terpenting di sini adalah pengalaman. Setelah sekian Minggu menunggu, tak
disangka saya diterima dalam Beasiswa Sarjana Magister tersebut dan di bagian inilah
merupakan masa pengambilan keputusan tersulit di dalam hidup saya. Entah mengapa
ketika sudah diterima, rasa ragu yang kemudian muncul. Seperti tidak siap. Saya
merasa, saya bisa dapat beasiswa tersebut karena saya beruntung, bukan karena
saya mampu. Apalagi mengingat jawaban saya pada test TOEFL dan wawancara yang ga banget. Di saat inilah saya kembali
melakukan self-talking. Saya kembali
merenung dan mulai berpikir, kalau boleh jujur, passion saya bukanlah menjadi seorang pengajar yang mana lulusan
dari Sarjana Magister ini diwajibkan menjadi dosen setelah lulus. Terlebih komputer
ini bukanlah passion utama saya. Saya
masih bertahan di jurusan ini karena saya berusaha survive. Walaupun pikiran salah jurusan terkadang muncul, tapi ini sudah
setengah jalan. Yang penting saya harus survive.
Akhirnya dengan keputusan yang bulat, saya menanggalkan beasiswa Sarjana
Magister tersebut. Terlihat bodoh memang…
Saya melepaskan kesempatan emas dalam hidup saya, yang begitu dicari banyak
orang, tetapi malah saya lepaskan. Tidak!
Tapi saya tidak bodoh. Mereka yang menilai itu karena mereka tidak mengerti apa
yang menjadi pencapaian dalam hidup saya dan ah… Rasanya lega sekali. Saat ini
adalah saat dimana saya mulai mengerti akan rencana Tuhan yang ada dalam hidup
saya. Di semester ini, saya sudah mulai jenuh belajar. Saya semakin sulit
menerima pelajaran. Pelajarannya juga makin
lama makin komputer banget, semakin susah. Bersyukur sekali, saya yang di kelas
biasa saja sekarang sudah mulai keteteran
apalagi di kelas Sarjana Magister? Pasti hasil yang didapat tidak akan
maksimal. Satu lagi, saya juga menyadari mengapa Tuhan tidak menempatkan saya
di jurusan Akuntansi. Ternyata Akuntansi juga sulit. Butuh pemahaman yang super
extra dan benar saja, di mata kuliah
Akuntansi ini saya tidak mendapat nilai yang maksimal. Betapa Tuhan menata hidup saya dengan begitu baik.
***
Sekarang saya selalu bersyukur akan setiap langkah yang saya
ambil. Tidak ada beban, tidak ada penyesalan. Berkat dari Tuhan selalu
tercurahkan di dalam hidup saya karena saya percaya dan mengimani bahwa campur
tangan Tuhan senantiasa mengiringi langkah kaki saya.
"Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN." – Yesaya 55 : 8
Comments
Post a Comment